Beliau adalah sosok ulama kharismatik yang lahir di Tasikmalaya, 25
Desember 1933. Perjuangannya dalam
dakwah Islam sungguh tidak bisa dielakkan. Lahir di kalangan keluarga yang religius,
beliau mulai mengkaji agama Islam klasik dari ayahanda beliau, Kyai Ahmad
Fadlil bin H. Abdul Jalal bin Buyut Uyut Masitoh. Dari garis keturunan ayahnya,
K.H. Irfan Hielmy memiliki darah ulama. Ibunya bernama Siti Maemunah binti Siti
Fatimah binti Uyut Eyang Audaya. Selain memiliki darah ulama, K.H. Irfan Hielmy
juga memiliki darah bangsawan dari nenek pihak ayah yang bernama Rd. Natamirah
bin Rd. Bratakusumah (Wedana Rancah pada waktu itu).
Selain belajar dan mengkaji ilmu-ilmu agama, Kyai Irfan Hielmy juga
menekuni pendidikan formal. Ia mengikuti pendidikan dasar di SRN Pamalayan
hingga tahun 1945. Pada 1946 belajar di MI Cidewa, kemudian SMEP pada 1952 di
Tasikmalaya; 1961 mengikuti UGA di Ciamis, PGA 4 tahun di Ciamis, lulus pada
1964, dan PGA 6 tahun di Ciamis, lulus pada 1965.
Beliau pun menjadi pengajar di beberapa lembaga pendidikan formal
waktu itu. Beliau mengajar di PGA Muhammadiyah dari 1953 hingga 1954; lalu
menjadi guru SMP PUI Cijantung (1954-1956); kepala sekolah SD PUI Dewasari
(1957-1964); Kepala Sekolah MAN Darussalam Ciamis (1968-1993); Dekan Fakultas
Syariah Darussalam (1970-1973); dan Rektor IAID (1973-1999). Selain itu beliau
pun aktif di instansi-instansi pemerintahan dan militer. Beliau menjadi
Pembantu Imam Militer (1957-1963); Roh Res Kepolisian 845 Ciamis (1966-1972);
Penilik MI se-Kab. Ciamis (1960-an); Anggota DPRD Kab. Ciamis (1967-1972);
Anggota MPR RI (1997-1999); Ketua Staf Pengkaderan Dakwah MUI Jawa Barat
(1992-1995); dan Ketua Umum MUI Kab. Ciamis (1998-2010). KH. Irfan Hielmy juga
aktif di berbagai organisasi keagamaan baik di tingkat Kab. Ciamis maupun
Propinsi Jawa Barat.
Ketika bekerja di Tasikmalaya, sebelum pulang memimpin pesantren
Darussalam, beliau dikenalkan kepada seorang gadis siswi SPG, yaitu ibu Dayu
Rabiah Adawiyah binti H. Manshur. Kepada gadis itulah beliau menambatkan
hatinya.
Pesantren Darussalam, Cinta Pertama Sang Kyai
Mungkin akan sulit membayangkan, delapan puluh tahun silam di atas
kawasan Cidewa, Desan Dewasari, Kab. Ciamis itu tidak ada apa-apa selain
tegalan dan kebun. Di sekitar tempat itulah, tepatnya di atas sebidang tanah
wakaf dari Mas Astapradja dan Siti Hasanah, pada 1929 Kyai Ahmad Fadlil, ayah
K.H. Irfan Hielmy, membuka pesantren Cidewa dengan modal sebuah rumah kecil,
masjid kecil, dan pondokan kecil yang sebagian besar dindingnya terbuat dari
bilik bamboo. Ajaib, dalam jangka waktu yang singkat, pesantren itu berkembang
pesat.
Pada 1950 Kyai Fadlil meninggal, dan sejak saat itu pesantren
Cidewa, kini Darussalam, dipimpin oleh Kyai Irfan untuk meneruskan perjuangan
ayahandanya memmbangun dan mendidik umat melalui pesantren itu. Namun, pada
saat itu, Kyai Irfan masih terlalu muda untuk memimpin sebuah pesantren. Maka
Kyai Popo, murid dari Kyai Fadlil memimpin pesantren Cidewa hingga Kyai Irfan
dianggap dewasa dan siap memimpin.
Setelah Kyai Irfan merasa cukup siap untuk memimpin, maka Pesantren
Cidewa terus berkembang dan semakin banyak santri yang mondok di sana.
Akhirnya, karena jumlah santri terus bertamabah, Kyai Irfan, pada 1963
memutuskan untuk memindahkan pesantren ke bawah, daerah yang waktu itu sawah
namun sudah dikeringkan. Pesantren Cidewa dikembangkan di atas tanah seluas
kurang satu lebih hektar. Pada tahun itu pula nama Pesantren Cidewa berganti
menjadi Balai Pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Cidewa Ciamis. Pada tahun
1977 kata Cidewa dihilangkan. Pesantren Darussalam menjadi pesantren modern
sejak 1967 ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal.
Pada waktu itu di Pesantren Darussalam sudah berdiri lembaga
pendidikan formal seperti Raudhatul Athfal yang didirikan pada 1944, kemudian
Madrasah Ibtidaiyah (sebelumnya bernama SD PUI, karena berdiri di bawah naungan
organisasi PUI) pada 1954, dan Madrasah Tsanawiyah pada 1966. Barulah pada
1967, didirikan Madrasah Aliyah yang diresmikan oleh Menteri Agama KH. Mohammad
Dahlan. Dan pada 1970, tepatnya 1 Juni 1970, diresmikan Fakultas Syariah (cikal
bakal IAI Darussalam) oleh Rektor IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. K.H.
Anwar Musaddad.
Konsep Dakwah K.H. Irfan Hielmy
Bapak KH Irfan
Hielmy memiliki tingkat keilmuan yang sangat tinggi, melebihi kapasitas
keilmuan pendidikan formal, dengan pemahaman yang komprehensif, dan mencetuskan
pemikiran inovatif tentang Islam dan Pembangunan. Konsep Mu’min yang Moderat,
Muslim yang Demokrat, dan Muhsin yang Diplomat, yang dikumandangkan
Pesantren Darussalam merupakan pemikiran KH Irfan Hielmy dalam
mentransformasikan nilai-nilai Islam pada mekanisme pembangunan bangsa. Di
bidang politik, beliau sering mengatakan tentang perlunya menegakkan politik
yang berakhlak dan mengembangkan akhlak melalui politik. Hal itu menunjukkan
pentingnya keterpaduan iman taqwa dan ilmu pengetahuan teknologi dalam sistem
pendidikan nasional dans mekanisme pembangunan bangsa.
Bapak KH Irfan
Hielmy, di samping sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Ciamis,
merupakan Sesepuh Tatar Galuh dan Tatar Pasundan, menjadi mitra dan penasihat
Pimpinan Daerah dan Pimpinan Nasional, yang sering bertandang ke Pesantren,
mulai Bupati, Gubernur, dan Presiden beserta jajarannya, dari lingkungan
Pemerintahan Sipil, Militer, dan Kepolisian, begitu pula politisi dan berbagai
Lembaga Swadaya Masyarakat. “Kami dari jajaran Wargi Galuh Puseur, baik
rengrengan Pangaping, Pakar, dan Pangurus, sering mendapat nasihat beliau untuk
turut memikirkan pengembangan Tatar Galuh, untuk menuju Mahayunan Ayuna
Kadatuan.” ungkap Endang Soetari Adiwikarta, Pupuhu Umum Wargi Galuh Puseur.
Bapak KH Irfan
Hielmy telah berhasil membina kader penerus, baik untuk bidang keagamaan,
keilmuan, kepemimpinan, kemayarakatan, dan pembangunan, sehingga estafeta
kepemimpinan Pesantren Darussalam dapat berproses secara baik, dan peran
Pesantren Darussalam sebagai pusat pendidikan, da’wah, dan pembangunan dapat
dilanjutkan dan dikembangkan.
Pribadi yang Rendah Hati dan Penuh Kasih Sayang
K.H. Irfan Hielmy adalah pribadi yang tawadu-rendah hati, yang
berjalan di atas muka bumi ini tanpa rasa sombong, angkuh, atau meremehkan
orang lain. Ia selalu menghargai pendapat atau pemikiran orang lain, termasuk
pemikiran santri dan murid-muridnya. Ia pun tidak pernah mengadu argumen dengan
orang atau santri yang dianggapnya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. KH.
Irfan enggan berlama-lama mendengarkan pembicaraan orang yang tidak didasari
ilmu. Sebaliknya, ia dengan senang hati akan berbicara panjang lebar dan
berdiskusi dengan siapa pun yang tahu dan menyadari apa yang dibicarakannya.
Beliau tidak segan berdiskusi dengan santri-santrinya mengenai berbagai
topik. Pernah seorang santri, yang memiliki nama sama dengan ayahandanya, yaitu
Ahmad Fadhil, berdiskusi dengan beliau tentang siapa bapak Ilmu Manthiq. K.H.
Irfan mengatakan bahwa bapak ilmu manthiq adalah Aristoteles. Tapi, si santri
yang tahu bahwa Aristo adalah murid Plato, mengatakan bahwa bapak ilmu manthiq
adalah Plato. Tentu saja, argumen seperti itu bukanlah argumen yang ilmiah.
Kedati demikian, beliau tetap tersenyum seraya mengatakan, “Nanti anakku akan
mengetahui tentang hal ini jika anakku banyak membaca.”
Cinta, kelembutan, dan kebijkasanaan pun menjadi beberapa prinsip
yang dipegang erat oleh K.H. Irfan Hielmy dalam mendidik keluarga dan
anak-anaknya. Kyai Irfan berusaha mengikuti bagaimana Rasulullah SAW. mendidik
umatnya, yaitu dengan menerapkan prinsip rahmah (kasih sayang), uswah
hasanah (tauladan yang baik), hikmah (bijaksana), maw’izah
hasanah (nasihat yang baik), mujadalah (diskusi dengan cara yang
cantik).
Menurut K.H. Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S., konsep rahmah dan
uswah hasanah meniscayakan setiap orang tua untuk menyayangi dan mengasihi anak
mereka dengan penuh cinta dan kelembutan. Sikap rahmah meniscayakan sikap
menghargai, menghormati, dan menyayangi sesama. Sementara, prinsip uswah
hasanah meniscayakan kita untuk setiap saat memberikan teladan yang baik kepada
keluarga anak-anak, termasuk dalam hal berucap, bertindak, bertingkah laku, dan
mengambil keputusan yang tepat.
KH. Irfan Hielmy berpulang ke rahmatullah pada Selasa, 18
Mei 2010 pukul 06.15 WIB di kediaman putra ketiganya KH. Dr. Fadlil Yani
Ainusyamsi, MBA., M.Ag. kepergian almarhum untuk selama-lamanya menyisakan
tangis bagi ribuan santri, alumni, dan warga Ciamis yang memadati kompleks
Pesantren Darussalam waktu itu. Sebelum kepergiannya, almarhum sempat dirawat di
berbagai rumah sakit yang berbeda. Beliau pernah dirawat di RSHS Bandung karena
penyakit liver. Sejak lama beliau memang mengidap penyakit liver dan gangguan
pencernaan lain. Bahkan sebelum kepergiannya, beliau juga sempat dirawat di
rumah sakit di Tasikmalaya.
Kepergiannya menuju alam yang abadi, menandai kepergian lima ulama
kharismatik Jawa Barat yang terakhir. Empat ulama kharismatik Jabar yang lebih
dulu wafat yakni K.H. Ilyas Ruhiyat (sesepuh Ponpes Cipasung Tasikmalaya), KH.
Anwar Musaddad (sesepuh Ponpes Musaddadiyah Garut), KH. Totoh Abdul Fatah
(sesepuh Ponpes Al-Jawami Cileunyi, Bandung), serta KH. Abdullah Abbas (sesepuh
Ponpes Buntet). KH. Irfan Hielmy merupakan sesepuh sekaligus ulama kharismatik
terakhir saat ini yang terus mengabdikan hidupnya untuk kemaslahatan umat dan
bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar